Perkampungan Sosial Pingit (PSP): Menjadi Kakak dan Sahabat Tempat Bercerita

Kesaksian55 Views

Perkampungan Sosial Pingit (PSP) Yogyakarta didirikan pada tahun 1966 oleh Rm. Bernhard Kieser, SJ dengan tujuan awal menampung para tunawisma di pelbagai wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Berkat bantuan Soebardjo, gerakan ini men­dapat sebidang tanah di Kampung Pingit, tepi Sungai Winongo, yang digunakan sebagai pusat kegiatan PSP. Menurut informasi dari Fr. Vincentius Doni Erlangga, SJ yang pernah aktif di PSP, alm. Soebardjo ialah pemilik tanah di Kampung Pingit. “Sampai sekarang, ta­nahnya boleh dipakai Kolsani sebagai tempat pelayanan sosial,” terang Fr. Doni.

Pelayanan PSP didukung oleh para rela­wan yang melayani warga Pingit secara rutin pada hari Senin dan Kamis. Mereka mem­beri pelajaran tambahan bagi anak-anak usia TK, SD, dan SMP yang berasal dari keluarga kurang mampu. Mayoritas orang tua mereka bekerja sebagai pedagang asongan, pe­mu­lung, satpam, preman, dan sebagainya.

Selain itu, para relawan memperhatikan beberapa warga dampingan yang tinggal di area PSP. Pelayanan ini termasuk mengu­sahakan pengobatan kepada warga yang sakit, mengupayakan kartu identitas bagi warga dampingan, memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum, hingga menyelenggarakan aneka pelatihan kete­rampilan agar mereka dapat memperoleh penghasilan untuk hidup.

Lidwina Paskarylia Shinta (20) adalah salah satu relawan yang mengajar di divisi TK. Sebagai relawan PSP, gadis asal Jakarta yang akrab disapa Ariel ini pernah membuat salah satu anak berubah menjadi lebih baik.

Ariel bertemu anak laki-laki bernama Azriel. Anak TK ini sering kali tidak mau men­dengarkannya maupun relawan lain. Azriel hanya berteriak di kelas, tidak ikut ber­nyanyi atau mengerjakan tugas, dan suka meng­ganggu teman yang lain.

Melihat itu, Ariel langsung tertarik dan mendekati Azriel. “Memang nggak mudah untuk memberi tahu dan membentuk pri­badi­nya. Namun, saya merasa tertantang untuk membuat Azriel menjadi anak yang rajin dan lebih aktif dalam belajar,” ungkap Ariel.

Minggu demi minggu, Ariel menyempatkan waktu untuk banyak mengajar, bukan hanya ber­temu Azriel, tetapi juga anak lainnya. Ariel mulai mengajarkan Azriel untuk sabar, berkata maaf, dan berterima kasih.

Usahanya tidak sia-sia. Walau ada bebe­rapa hambatan karena Ariel tidak bisa sepe­nuh­nya mengatur Azriel, tetapi akhirnya Azriel menjadi pribadi yang lebih baik. “Azriel ingin saya terus berada di sampingnya, mau mengerjakan tugas, jauh lebih sopan dengan ber­kata te­rima kasih, maaf, tolong, juga bisa meng­ikuti kegiatan,” bangga mahasiswi Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik Universitas Sanata Dharma (Pendikkat USD) Yogyakarta ini.

Ariel pun menyatakan tidak akan melu­pakan pengalaman ini. “Bila kita berusaha un­tuk membantu anak menjadi lebih baik de­ngan sungguh-sungguh dengan rasa ikhlas, maka akan menghasilkan sebuah penga­laman baik,” renungnya.

Para relawan tentu tidak bekerja sendiri. Me­reka mendapat pendampingan dari pa­ra frater Serikat Jesus yang bertanggung ja­wab mengupayakan agar keterlibatan para relawan sungguh menjadi wahana pendi­dikan dan pematangan keutamaan belarasa.

Ariel merasakan wujud kerja sama dengan frater Kolsani sangat nyata. Mulai dari fasilitas yang sangat mumpuni dan terpenuhi dengan baik hingga dukungan mental dan materi. “Dari segi mental, para frater memberikan motivasi serta masukan bermanfaat untuk setiap kerja yang kami lakukan,” ucap Ariel.

Para frater pun memberikan dukungan untuk Ariel secara pribadi. “Frater banyak men­dengarkan keluh kesah juga masukan dan ide yang saya berikan. Ketika bercerita tentang sebuah permasalahan, cerita penga­lam­an, dan canda tawa, para frater tetap mem­­berikan waktunya untuk memberikan banyak masukan,” tutur Ariel.

Di mata Ariel, para frater mampu memban­tu para relawan untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang baik dan adil.

Sementara itu Pusparani Sabarno (22), rekan sesama relawan Ariel di PSP, semula hanya sebatas ikut terlibat membantu anak-anak PSP dalam belajar. Namun, semakin mengenal anak-anak PSP, Puspa merasa bah­wa mereka tidak hanya memerlukan orang yang membantu dalam pendidikan, tetapi juga harus bisa menjadi, kakak, teman, dan sahabat sebagai tempat bercerita. “Nggak cuma membimbing dalam bidang akademik, kami juga memberikan nilai-nilai moral,” sebut mahasiswi Prodi Manajemen Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta ini.

Puspa melihat sebagian besar anak-anak PSP memiliki keinginan yang besar dalam belajar. Selain bersekolah, beberapa anak PSP membantu orang tuanya mencari nafkah dengan menjual kerajinan tangan maupun camilan. Ketika belajar bersama kakak-ka­kak relawan, mereka tampak senang dan antusias. “Pasti melelahkan bagi mereka yang masih berusia belia tetapi memiliki kegiatan sebanyak itu,” ucap Puspa berempati.

Namun, lantaran anak-anak sedang dalam masa aktif-aktifnya, ketika pembelajaran me­reka terkadang masih senang berteriak-teriak, lari ke sana kemari, atau saling berebut barang. Mereka juga pandai mengikuti ting­kah laku maupun perkataan orang di sekitarnya sehingga terdapat anak yang berbicara kasar atau kurang baik.

“Perlu kesabaran yang ekstra, bersikap te­gas, dan harus dapat menjelaskan dengan baik kalau hal itu salah dan nggak baik untuk dilakukan atau diucapkan,” tutur Puspa.

Bila mengalami kendala seperti ini, para relawan sharing dan berdiskusi dengan para fra­ter pendamping untuk mencari solusi yang paling baik. Para frater pun bersikap sangat terbuka dan peduli kepada para rela­wan, misalnya menanyakan kendala yang dira­sa­kan, baik dalam mendampingi anak-anak PSP maupun kehidupan pribadi para relawan.

“Para frater sangat mau menerima masuk­an dan ide dari kami sehingga kreativitas kami juga dapat terus berkembang. Selain itu, para frater juga mengadakan beberapa kegiatan un­tuk meng­akrabkan kami, seperti main bad­­minton bareng,” papar Puspa sembari tersenyum.

Dari anak-anak PSP, lanjut Puspa, pa­ra relawan juga mendapat pelajaran berhar­ga seperti ketekunan dan tekad yang ku­at. Se­cara pribadi, Puspa merasakan bebe­ra­pa perubahan dalam dirinya selama men­­jadi relawan PSP. “Saya menjadi orang yang mampu membagi waktu dan jauh lebih ber­tanggung jawab. Selain itu, saya meng­alami perubahan yang sangat berbeda jauh dari sebelumnya. Saya lebih berani ber­sosialisasi dengan orang baru dan mampu me­mahami berbagai karakter orang,” aku warga Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul ini.

Sehubungan dengan perayaan satu abad usia Kolsani, Ariel dan Puspa sama-sama me­miliki pesan dan harapan untuk rumah studi bagi para calon imam Serikat Jesus ini.

Ariel berharap Kolsani semakin mende­ngar­­kan dan merangkul anak-anak muda un­tuk banyak mengikuti kegiatan yang dise­diakan untuk meningkatkan jiwa sosial dan memberikan bimbingan untuk anak-anak muda sehingga semakin peduli dengan sesama, bukan hanya di zona nyaman.

Sedangkan Puspa berharap Kolsani mam­pu terus berkarya dan lebih banyak mem­bagikan kasih di tengah-tengah umat dan masyarakat Indonesia. “Dalam bidang peng­abdian masyarakat, saya berharap komu­nitas sosial baik Perkampungan Sosial Pingit, Bongsuwung, dan Jombor akan terus berlanjut dan berkembang karena banyak manfaat positif yang dapat diterima bagi ber­bagai pihak yang terlibat,” pungkas Puspa. l

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *