Bila kita sulit untuk memberi, barangkali kita lupa bahwa hidup ini sebuah pemberian.
Namanya sederhana seperti orangnya, Sunarti. Ia sudah bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di rumah saya kira-kira lima tahun lamanya.
Suatu pagi, sewaktu saya membukakan pintu untuknya, dengan wajah cerah ia berkata, “Mbak Ivon, ini saya bawakan ikan kali goreng untuk Mbak Ivon.”
Saya tersenyum dan berkata, “Terima kasih, Mbak Narti. Ini memang makanan kesukaan saya. Ikan goreng disantap dengan nasi hangat dan sambal sangatlah enak.”
Memang, ibu itu beberapa kali membawakan ikan kali goreng, hasil tangkapan putranya.
Saya lalu bertanya lagi, “Mbak, apa anak-anak Mbak Narti juga ikut makan ikan kali goreng ini?”
“Enggak, Mbak Ivon, semuanya saya berikan untuk Mbak Ivon dan Bapak.”
Saya terenyak. “Kok ikannya dibawa semua, Mbak? Mengapa tidak disimpan sebagian untuk keluarga Mbak Narti?”
Jawabannya membuat saya termenung, “Saya hanya ingin memberi, Mbak.”
Oh, Mbak Narti, walau hidupmu sederhana bahkan cenderung susah, kau memiliki mutiara yang sangat berharga, yaitu hatimu yang murah hati dan selalu ingin memberi.
Tak hanya ikan kali goreng, kadang ia membawa pula pisang kepok kuning hasil kebunnya. Bukan untuk keluarganya, melainkan untuk keluarga saya.
Kebaikan dan ketulusan hatinya itulah yang membuat wajahnya memancarkan kecantikan sejati, keindahan yang tidak luntur karena usia.
Realitasnya, memberi tak selalu mudah. Saya pernah berpikir, saya yang bekerja giat, tetapi mengapa orang lain yang menikmati hasilnya?
Tuhan membuka mata saya lewat perjumpaan saya dengan seorang tukang becak di perjalanan bersepeda saya.
Mulanya, saya tak memperhatikan tukang becak itu. Hanya memang ia sering tersenyum saat berpapasan dengan saya.
Tukang becak itu memakai kaus bertuliskan “Sugih Ora Nyimpen”.
Kalimat berbahasa Jawa itu mengembalikan pikiran saya yang keliru. Kaya tidak menyimpan atau dengan kata lain orang disebut kaya bila ia tidak menyimpan untuk diri sendiri. Itulah yang dinamakan “kekayaan batin”.
Tukang becak itu bersusah payah mengayuh becaknya sepanjang hari. Lalu, semua kerja kerasnya ia berikan untuk keluarganya. Pemberian menuntut pengorbanan diri dan keinginan melihat orang yang dicintainya bahagia dengan perjuangannya.
Saya mengamati lagi Mbak Narti yang sedang menyapu sambil bersenandung lirih. Wajahnya begitu cerah, damai, walau tanpa perawatan skin care yang mahal.
Apakah pembaca tahu mengapa wajah ART saya itu begitu ceria dan penuh kasih?
Jawabnya adalah hidupnya yang selalu ingin memberi. Memberi membawa kebahagiaan, baik yang diberi maupun yang memberi.
Dengan memberikan sesuatu yang bernilai untuk orang lain, sebenarnya kita menerima yang terbaik dari Tuhan.